Juli 2012, adalah tahun darah dan air mata warga Rohingya. Etnis muslim
minoritas di Myanmar tersebut dibantai habis rezim Thuen Shein. Tragedi ini
merupakan genosida terbesar kedua dalam tiga dekade terakhir. Sebelumnya 1994
di Bosnia Herzegovina, kaum muslimin dibunuh brutal oleh rezim Serbia. Kini
kisah pilu ini terulang dan dunia pun hanya diam. PBB hanya mengutuk, negeri
adidaya yang biasanya teriak lantang ketiga ada pelanggaran HAM di belahan
dunia seakan tak mau tahu.
Menurut data President of Burmese Rohingya Organization UK (BROUK)
sebanyak 650 orang meregang nyawa, 1200 hilang, lebih dari 80.000 kehilangan
tempat tinggal sejak kisruh meletus. Ada kemungkinan realitas di lapangan lebih
banyak lagi yang menderita. Indonesia selaku ketua ASEAN tak bertindak tegas.
Kendati ada traktat tak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara lain,
presiden SBY seharusnya dapat menjalin komunikasi bilateral dengan presiden
Thuen Shein.
Tak ada gunanya meminta tolong pada Aung San Suu Kyi. Sebab, anak bapak
kemerdekaan Myanmar ini kini dilanda dilema. Di satu sisi jika peraih nobel
perdamaian 16 Juni 2012 ini menaruh simpati kepada etnis Rohingya, maka dia
akan kehilangan kepercayaan umat Budha. Dampaknya akan mengancam tingkat
elektabilitas dan akseptabilitasnya pada pemilu presiden 2015 nanti. Sehingga
peluangnya akan tipis untuk menang.
Pada aspek lain jika pelanggaran HAM berat pada etnis Rohingya di depan matanya
tak segera dituntaskan, pasti akan mendapat tekanan dari aktivis HAM
internasional serta merusak citranya sebagai pejuang HAM yang melekat selama
ini. Publik dapat melihat dengan terang ketika bulan ini safarinya ke London,
Dublin, Oslo, dan Paris tak menyinggung satu kata pun tentang Rohingya. Khalayak
pun dapat menyimpulkan Suu Kyi bermuka dua alias penganut standar ganda.
Jika penggerak demokratisasi di Myanmar ini diam saja, seyogianya otoritas
internasional dapat mencabut kembali nobel perdamaian yang diberikan kepadanya.
Ini juga pertanda Myanmar telah gagal mengelola heterogenitas di negaranya.
Negara asia tenggara perlu mengevaluasi keanggotaan Myanmar di ASEAN,
karena tidak mampu menjamin berjalannya hak asasi manusia untuk hidup dan
bertempat tinggal di kawasannya. Bagaimana mungkin mereka
menganggap Rohingya bukan warga negaranya dan menuduh
mereka imigran gelap dari Bangladesh jika etnis Rohingya sudah ada di sana
sebelum merdeka 1948. Sungguh alasan yang mengada-ada.
Oleh sebab itu, ada beberapa langkah mendesak yang perlu diambil pemerintah
Indonesia. Pertama, mengirimkan bantuan medis, pangan, dan pakaian kepada warga
Rohingya yang dideportasi dan sekarang terlantar di perbatansan
Myanmar-Bangladesh. Berdasarkan konvensi organisasi PBB, (UNHCR) menyatakan
setiap organisasi kemanusiaan internasional yang akan memberikan bantuan harus
diberikan akses dan tidak boleh diperlambat. Kalau pemerintahan Myanmar
menghalang-halangi maka dapat dikatakan melanggar hukum internasional yang
telah disepakati. Samarnya sikap pemerintah Indonesia, justru memunculkan
inisiatif organisasi swasta seperti LSM ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang Minggu
lalu mengirimkan relawannya, Andhika Purbo Swasono ke kamp pengungsian di
Bangladesh. Pemerintah dapat menjadi perantara beberapa organisasi kemanusiaan
seperti PMI, BSMI, PKPU yang dapat diajak kerja sama untuk menjalin koneksi
dengan badan kemanusiaan internasional dan pemerintah Bangladesh guna
mempermudah pendistribusian bantuan.
Kedua, pemerintah Indonesia dapat melakukan protes keras kepada pemerintah
Myanmar agar mengakui setiap warga negaranya berlatar belakang apapun, dan
menjamin ditegakkannya perlindungan HAM sesuai deklarasi universal HAM yang
diumumkan PBB 10 Desember 1948. Jika tak digubris, Indonesia dapat mengajak
anggota ASEAN lain untuk memboikot gelaran sea games ke 26
yang tahun depan akan berlangsung di sana.
Ketiga, Indonesia dapat memanfaatkan pertemuan Organisasi Kerja sama Islam (Organization
of the Islamic Cooperation) yang akan mengadakan pertemuan 14-15 Agustus di
Saudi Arabia. Agar mampu menekan Myanmar untuk menghentikan tindakan biadabnya
dan membawa perkara ini ke Amnesty Internasional. Setidaknya setiap negara
mayoritas muslim dapat menerima pengungsi dari etnis Rohingya dan memberi suaka
politik, sebagaimana mengurus warga negaranya sendiri. Indonesia sendiri
sebelum membicarakan ke forum manca, haruslah memberi contoh awal kepada negeri
jiran untuk peduli dan menerima warga Rohingya yang merapat di Aceh, Bogor, dan
Tanjung Pinang.
Alhamdulillah aksi galang dana KAMMI Sleman memperoleh
4 juta lebih. Kami haturkan jazakallahu khairan katsira wa taqaballhu minna wa
minkum. Hasil donasi disalurkan via PIARA (Pusat Informasi Rohingya Arakan) dan KAMMI Pusat.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar