Selasa, 23 Oktober 2012

Peduli Etnis Muslim Rohingya


                Juli 2012, adalah tahun darah dan air mata warga Rohingya. Etnis muslim minoritas di Myanmar tersebut dibantai habis rezim Thuen Shein. Tragedi ini merupakan genosida terbesar kedua dalam tiga dekade terakhir. Sebelumnya 1994 di Bosnia Herzegovina, kaum muslimin dibunuh brutal oleh rezim Serbia. Kini kisah pilu ini terulang dan dunia pun hanya diam. PBB hanya mengutuk, negeri adidaya yang biasanya teriak lantang ketiga ada pelanggaran HAM di belahan dunia seakan tak mau tahu.

            Menurut data President of Burmese Rohingya Organization UK (BROUK) sebanyak 650 orang meregang nyawa, 1200 hilang, lebih dari 80.000 kehilangan tempat tinggal sejak kisruh meletus. Ada kemungkinan realitas di lapangan lebih banyak lagi yang menderita. Indonesia selaku ketua ASEAN tak bertindak tegas. Kendati ada traktat tak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara lain, presiden SBY seharusnya dapat menjalin komunikasi bilateral dengan presiden Thuen Shein.

            Tak ada gunanya meminta tolong pada Aung San Suu Kyi. Sebab, anak bapak kemerdekaan Myanmar ini kini dilanda dilema. Di satu sisi jika peraih nobel perdamaian 16 Juni 2012 ini menaruh simpati kepada etnis Rohingya, maka dia akan kehilangan kepercayaan umat Budha. Dampaknya akan mengancam tingkat elektabilitas dan akseptabilitasnya pada pemilu presiden 2015 nanti. Sehingga peluangnya akan tipis untuk menang.

            Pada aspek lain jika pelanggaran HAM berat pada etnis Rohingya di depan matanya tak segera dituntaskan, pasti akan mendapat tekanan dari aktivis HAM internasional serta merusak citranya sebagai pejuang HAM yang melekat selama ini. Publik dapat melihat dengan terang ketika bulan ini safarinya ke London, Dublin, Oslo, dan Paris tak menyinggung satu kata pun tentang Rohingya. Khalayak pun dapat menyimpulkan Suu Kyi bermuka dua alias penganut standar ganda.

            Jika penggerak demokratisasi di Myanmar ini diam saja, seyogianya otoritas internasional dapat mencabut kembali nobel perdamaian yang diberikan kepadanya. Ini juga pertanda Myanmar telah gagal mengelola heterogenitas di negaranya. Negara asia tenggara perlu mengevaluasi  keanggotaan Myanmar di ASEAN, karena tidak mampu menjamin berjalannya hak asasi manusia untuk hidup dan bertempat tinggal di kawasannya. Bagaimana mungkin mereka
menganggap Rohingya bukan warga negaranya dan menuduh mereka imigran gelap dari Bangladesh jika etnis Rohingya sudah ada di sana sebelum merdeka 1948. Sungguh alasan yang mengada-ada.

            Oleh sebab itu, ada beberapa langkah mendesak yang perlu diambil pemerintah Indonesia. Pertama, mengirimkan bantuan medis, pangan, dan pakaian kepada warga Rohingya yang dideportasi dan sekarang terlantar di perbatansan Myanmar-Bangladesh. Berdasarkan konvensi organisasi  PBB, (UNHCR) menyatakan setiap organisasi kemanusiaan internasional yang akan memberikan bantuan harus diberikan akses dan tidak boleh diperlambat. Kalau pemerintahan Myanmar menghalang-halangi maka dapat dikatakan melanggar hukum internasional yang telah disepakati. Samarnya sikap pemerintah Indonesia, justru memunculkan inisiatif organisasi swasta seperti LSM ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang Minggu lalu mengirimkan relawannya, Andhika Purbo Swasono ke kamp pengungsian di Bangladesh. Pemerintah dapat menjadi perantara beberapa organisasi kemanusiaan seperti PMI, BSMI, PKPU yang dapat diajak kerja sama untuk menjalin koneksi dengan badan kemanusiaan internasional dan pemerintah Bangladesh guna mempermudah pendistribusian bantuan.

            Kedua, pemerintah Indonesia dapat melakukan protes keras kepada pemerintah Myanmar agar mengakui setiap warga negaranya berlatar belakang apapun, dan menjamin ditegakkannya perlindungan HAM sesuai deklarasi universal HAM yang diumumkan PBB 10 Desember 1948. Jika tak digubris, Indonesia dapat mengajak anggota ASEAN lain untuk memboikot gelaran sea games ke 26 yang tahun depan akan berlangsung di sana.

            Ketiga, Indonesia dapat memanfaatkan pertemuan Organisasi Kerja sama Islam (Organization of the Islamic Cooperation) yang akan mengadakan pertemuan 14-15 Agustus di Saudi Arabia. Agar mampu menekan Myanmar untuk menghentikan tindakan biadabnya dan membawa perkara ini ke Amnesty Internasional. Setidaknya setiap negara mayoritas muslim dapat menerima pengungsi dari etnis Rohingya dan memberi suaka politik, sebagaimana mengurus warga negaranya sendiri. Indonesia sendiri sebelum membicarakan ke forum manca, haruslah memberi contoh awal kepada negeri jiran untuk peduli dan menerima warga Rohingya yang merapat di Aceh, Bogor, dan Tanjung Pinang.

Alhamdulillah aksi galang dana KAMMI Sleman memperoleh 4 juta lebih. Kami haturkan jazakallahu khairan katsira wa taqaballhu minna wa minkum. Hasil donasi disalurkan via PIARA (Pusat Informasi Rohingya Arakan) dan KAMMI Pusat.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar