Selasa, 23 Oktober 2012

Aksi Tolak RUU PT


Kala itu RUU PT versi 4 April 2012 ditarik kembali oleh pemerintah untuk penambahan beberapa pasal. Menurut Mendikbud ada tiga peran PT yang ditambahkan, yakni dalam menciptakan pemimpin masa depan bangsa, transformasi demokrasi, dan peran untuk menjaga konvergensi peradaban. Ternyata, setelah dikaji RUU PT versi 26 Juni 2012 tidak jauh berbeda dari RUU PT 4 April 2012. Hanya terjadi pemangkasan dan pengintegrasian pasal, dari 102 pasal menjadi 59 pasal. Tapi secara substansi tidak mengalami perubahan. Terutama beberapa pasal yang menurut kajian kawan KAMMI Sleman sebelumnya harus dienyahkan karena membuka kran liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Berikut catatan per pasalnya.

Pasal 1 ayat 5 “Humaniora adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya,  antara lain teologi, filsafat, hukum, sejarah, filologi, bahasa, budaya,  linguistik,  kesusastraan, kesenian, dan psikologi”.
Catatan: Kata “dianggap” untuk ukuran RUU yang akan menjadi norma yuridis tidaklah tepat dan tampak sumir. Karena seakan tidak ada kepercayaan atau sekadar kesimpulan sementara atau terlihat ada pandangan belum terbukti bahwa humaniora adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi. Lebih baik kata “dianggap” dihapus.

Pasal 7 ayat 4 “Menteri bertanggung jawab atas kebijakan umum penyelenggaraan Pendidikan Tinggi”.
Catatan: Pada RUU PT sebelumnya tidak ada kata “kebijakan umum”. Selain itu menteri urusan agama juga dapat “menetapkan kebijakan umum” meliputi pengaturan, perencanaan, pengawasaan, pemantauan dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi. Intervensi Menteri pada RUU PT kali ini sangat besar. Sepanjang tidak politis tidak masalah. Tapi siapa yang menjamin?

Pasal 7 ayat 4c: “Tugas dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan pendidikan tinggi meliputi: penjaminan peningkatan mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan akses pendidikan tinggi secara berkelanjutan”.
Catatan: Pada RUU PT sebelumnya ada kata penjaminan. Maksudnya karena tujuan negara Indonesia salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah selayaknya negara menjamin peningkatan mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan berkeadilan dan akses pendidikan tinggi berkelanjutan. Dengan dihapuskannya kata penjaminan, maka negara tidak menjamin hal di muka terwujud namun diserahkan pada setiap kampus masing-masing. Apakah ini dapat dikata negara melimpahkan tanggungjawabnya pada setiap PT dengan dalih otonomi?

Pasal 9 ayat 2 “Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya”.
Catatan: Pada draf sebelumnya tidak ada kata rumpun ilmu. Kebebasan profesor atau dosen yang diberikan pada RUU PT ini bukan mutlak melainkan setengah-setengah. Karena pada Pasal 9 ayat 4 disebutkan rumpun dan cabang ilmu diatur dalam peraturan menteri.

Pasal 23 ayat 1 (sebelumnya pasal 50) “Kerja sama internasional harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan humaniora yang memberi manfaat bagi kehidupan manusia”. 
Catatan: Terjadi perubahan drastis pada pasal ini ayat 1. Termasuk dihapuskannya “berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan”. Dapat pula diinterpretasikan hilang atau tidaknya nilai keindonesiaan dalam hubungan dengan negeri manca tak menjadi pertimbangan lagi. Jika demikian sungguh ironis, karena setiap perguruan tinggi tak mampu menjaga nilai khas keindonesian. Padahal PT merupakan ruang bertumbuh berpengetahuan dan ruang yang mendekatkan anak didiknya dengan realitas. Bukan malah menjauhkannya.

Pasal 31 ayat 2 (sebelumnya pasal 64) “PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum, bersifat nirlaba, dan wajib memperoleh izin Menteri antara lain yayasan, perkumpulan, persyarikatan, dan badan wakaf”.
Catatan: Kendati PTS hanya memperoleh bantuan dari pemerintah melalui hibah. Tetapi, penghapusan kata “bersifat nirlaba” membuka celah komersialisasi dengan dalih pemenuhan kebutuhan operasional kampus. Perlu aturan penjelas lain seperti pangkalan data dapat menjelaskan keterangan operasional kebutuhan kampus atau mengacu standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi (pasal 49 ayat 2) agar transparansi dan akuntabilitas kampus terjamin.

Pasal 35 ayat 1 “PTN yang didirikan oleh Pemerintah dapat berbentuk satuan kerja, satuan kerja dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum,  atau badan hukum”.
Catatan: Pasal ini membuka peluang bagi setiap PTN menjadi BHMN dengan pengelolaan kampus ala korporasi. Bukankah pasal ini tak jauh bedanya dengan UU BHP yang ditolak MK. Tetap saja RUU PT ini merupakan penjelmaan UU BHP. PTN berbadan hukum ini dapat mengelola kekayaan negara yang dipisahkan (pasal 36 ayat 3g).

Pasal 41 ayat 1 (sebelumnya pasal 79 ayat 1,2) “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik”.
Pasal 41 ayat 2 Pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:
 a.   beasiswa  kepada mahasiswa berprestasi;  
 b.   bantuan atau membebaskan biaya pendidikan; dan/atau
 c.    pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.

Catatan: Tidak berbeda satu huruf pun dengan draf sebelumnya. Kampus mengajarkan utang piutang kepada mahasiswanya. Seyogianya pasal 41 ayat 2c dihapus, jika mahasiswa tidak mampu bayar SPP, kampus harus tetap mengakomodasinya dengan memberikan beasiswa dan subsidi tanpa pinjaman karena itu tanggungjawab satuan pendidikan.

Pasal 51 ayat 1 (sebelumnya pasal 94) “Perguruan Tinggi asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 51 ayat 2 “Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya”.
Pasal 51 ayat 3 Penyelenggara pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
 a.   memperoleh izin Menteri;
 b.  bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia; dan
 c.   mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.

Catatannya: Pada draf sebelumnya ada kekata “bersifat nirlaba” bagi PT asing yang membuka cabangnya di Indonesia. Raibnya kata nirlaba memungkinkan bagi PT luar negeri untuk mematok biaya tinggi. Jika perkara ini terjadi praktik liberalisasi dan komersialisasi di dunia pendidikan semakin menjadi. Analisanya kenapa liberalisasi pendidikan sangat prospektif di Indonesia karena; pertama negeri ini secara demografi banyak penduduknya dengan usia produktif dan minat masuk PT semakin marak. Kedua, biaya investasinya termasuk murah. Ketiga, tenaga kerja administratif dan pendidik termasuk murah.

Berpijak argumentasi di muka, KAMMI Daerah Sleman menyatakan sikap:
(1). Pertama, tolak RUU PT versi pemerintah dan menghapus beberapa pasal yang bermuatan liberalisasi, komersialisasi, dan kapitalisasi pendidikan.
(2). Kedua, tuntut keterlibatan negara pada jenjang pendidikan tinggi untuk mewujudkan pendidikan murah dan berkeadilan menjangkau semua kalangan sesuai pasal 31 ayat 2 UUD 1945.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar