[Selasa, 27 Oktober 2009]
SLEMAN – Pungutan
dengan kedok sumbangan di sekolah-sekolah masih banyak ditemukan di Sleman.
Dalam sebulan terakhir, sedikitnya ada 10 sekolah dari SD dan SMP yang
ditemukan menarik sumbangan kepada murid-muridnya. Data ini didapat dari hasil
investigasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Sleman.
Bentuk-bentuk
pungutan kepada murid yang masih diterapkan oleh SD dan SMP di tujuh kecamatan
antara lain berbentuk sumbangan uang asuransi kesehatan, tes IQ, lomba MTQ,
dana OSIS, uang seragam, serta sumbangan untuk rapat komite sekolah. Bahkan
beberapa sekolah masih menarik sumbangan untuk pembangunan gedung yang
dibebankan kepada siswa baru. “Atas berbagai bentuk sumbangan itu, tiap murid
dibebankan biaya sebesar Rp 1 sampai 2 juta. Tak peduli apakah murid tersebut
berasal dari keluarga mampu atau tidak,” ujar aktivis KAMMI Sleman Budiyanto
dalam konferensi pers, kemarin (26/10)
.
Padahal dalam
aturannya, sejak program sekolah gratis diluncurkan, berbagai bentuk pungutan
maupun sumbangan di sekolah sudah tak boleh lagi diterapkan. Hal ini didasarkan
pada PP No 47 Tahun 2008 tentang wajib belajar 12 tahun. Ketua Umum KAMMI
Sleman Kartika Nur Rakhman mengatakan, PP tersebut bisa menjadi dasar semangat
peraturan untuk menggratiskan pendidikan di sekolah tingkat SD dan SMP Negeri.
“Dengan sendirinya peraturan tersebut menjelaskan bahwa sekolah dilarang
menarik biaya berupa pungutan atau sumbangan apapun dari orang tua murid,”
jelasnya.
Nur Rakhman
mengatakan, atas hasil temuan investigasi KAMMI tersebut, pihaknya akan
menindaklanjuti dengan melaporkannya kepada Dinas Pendidikan dan DPRD Kabupaten
Sleman. “Dalam laporan nanti, kami akan beberkan sekolah mana saja yang masih
meminta sumbangan dari murid-muridnya. Kami juga akan serahkan rincian
pelanggaran tersebut, lengkap dengan bukti-buktinya,” imbuhnya
.
Meski demikian,
tambah Budiyanto, pihaknya sebenarnya dapat memahami bahwa beberapa sekolah
tersebut hanya memiliki dana terbatas untuk menjalankan program pengembangan
bagi pendidikan di sekolah, sehingga pada akhirnya sekolah memutuskan untuk
meminta sumbangan dan memberlakukan pungutan-pungutan tersebut
.
“Yang jadi masalah,
kebutuhan dana yang sebelumnya telah dilegalkan dengan pembahasan di komite
sekolah paa akhirnya dibebankan kembali kepada murid-murid mereka. Seharusnya
kebutuhan dana yang telah disusun oleh komite, bisa diambilkan dari anggaran
APBD Sleman. Bukankah dana APBD Sleman cukup besar dan mencapai Rp 1 Triliun
per tahun?” tambahnya
.
Munculnya berbagai
bentuk pungutan dan sumbangan tersebut, menurut Budiyanto, dikarenakan Sleman
belum memiliki aturan sendiri yang mengatur secara jelas masalah pungutan ini.
Misalnya peraturan yang dikukuhkan dalam bentuk Perda mengenai standar
pelaksanaan pendidikan di Sleman
.
Untuk itu, KAMMI
mendesak agar Pemkab dan DPRD Sleman kembali membahas rancangan peraturan
daerah tentang pendidikan di Sleman, yang sebelumnya pernah disusun namun saat
ini terpaksa harus terhenti di pihak eksekutif. KAMMI juga meminta Pemkab
Sleman untuk menindak tegas sekolah yang masih meminta sumbangan dan pungutan
kepada murid-muridnya.
Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten Sleman Suyamsih mengakui ada sejumlah sekolah yang masih
memungut biaya kepada orang tua siswa. Hanya saja, Suyamsih tak menyebut
sekolah yang dimaksud. “Jelas ada tindakan bagi yang melanggar. Beberapa
(sekolah) sudah ada yang kami beri sanksi. Sudah ya saya mau rapat sore,”
ungkap Suyamsih sambil menutup telepon selulernya saat dihubungi Radar Jogja,
kemarin sore. Soal sanksi yang dijatuhkan, Suyamsih juga belum menjelaskannya.
Banyaknya temuan oleh beberapa elemen masyarakat, Suyamsih mengaku masih harus
melihat jenis pungutan yang diberlakukan tiap sekolah. Menurutnya, tidak ada
larangan pungutan sejauh tidak ada ikatan dan besarannya sukarela. “Sesuai SK
Mendiknas kan boleh saja orang tua siswa menyumbang suka rela. Itu ada di buku
pedoman BOS (biaya operasional sekolah) halaman 13,” imbuhnya. Tidak mengikat diartikan, sumbangan tersbut
tidak boleh mempengaruhi status atau prestasi siswa. Jika pihak sekolah
menentukan jumlah dan mewajibkan,maka bisa disebut melanggar ketentuan BOS.
Suyamsih menegaskan pungutan hanya boleh dilakukan oleh sekolah setingkat
SMA/SMK. Pasalnya untuk SMA/SMK dan sederajat tidak mendapat bantuan
operasional dari pemerintah. “Kalau tidak ada bantuan dari orang tua dari
siswa, perkembangan SMA atau SMK ya Cuma jalan ditempat saja,” klaimnya
.
Anggota Komisi D DPRD
Sleman Huda Tri Yudiana membenarkan masih adanya pungutan liar pasca turunnya
kebijakan BOS. Upaya menekan biaya sekolah, menurut Huda, telah dilakukan DPRD
Sleman jauh sebelum PP 48/2008 turun. Hanya saja, dalam pembahasan rancangan
peraturan daerah (raperda) pendidikan belum ada titik temu antara eksekutif dan
legislatif hingga saat ini. “Perda pendidikan menjadi target dewan pada periode
ini,” katanya. Untuk mencermati dugaan tindakan melanggar hukum lebih banyak,
Huda mengaku telah menurunkan tim untuk memantau pelaksanaan kebijakan BOS di
sekolah-sekolah se Sleman. “Kami juga menemukan banyak sekolah melanggar
ketentuan. Masih memungut tanpa ada kejelasan,” ungkap politisi PKS itu.
(nis/yog)
selengkapnya klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar