Sabtu, 03 November 2012

Aksi Proteksi dan Berdayakan Sektor Riil



          Yogyakarta, 22 Oktober 2012 - Badan Pusat Statistik (BPS) merealease pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5 persen. Angka ini termasuk besar mengingat rata-rata negara Eropa hanya mencapai 5 persen lantaran krisis utang yang melanda Yunani merembet ke negara lain. Belum lagi konflik di timur tengah yang membuat pertumbuhan ekonomi di sana tidak stabil. Demikian juga negara adidaya Amerika Serikat, perkembangan ekonominya juga tersendat karena perkara kredit perumahan macet dan maraknya pengangguran.

          Serentetan problem ekonomi di muka membawa berkah bagi Indonesia karena para investor mengalihkan uangnya ke Indonesia. Walhasil besaran produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berjumlah Rp7.427,1 triliun (USD850 miliar). PDB merupakan perpaduan modal dalam negeri dan arus investasi asing yang masuk ke Indonesia. Progresifnya kinerja perekonomian memberikan efek domino positif atas pendapatan per kapita atas dasar harga berlaku menjadi Rp30,8 juta atau USD3.542,9, naik dibandingkan 2010 yang hanya Rp27,1 juta (USD3.010,1). Untuk menghitung penghasilan penduduk per bulannya digunakan rumus, PDB dibagi jumlah penduduk dibagi dua belas bulan. Hasilnya menurut BPS rata-rata warga negara Indonesia mempunyai pendapatan per bulan Rp2,56 juta. Berubahnya ekonomi Indonesia sempat mendapat sanjungan pejabat teras IMF Asia Pasifik.

          Namun pertanyaan kritisnya ialah, pertumbuhan ekonomi ini representrasi masyarakat yang mana? Benarkah rata-rata WNI berkocek 2,5 juta setiap bulannya? Lantas jika ekonomi kita naik kenapa gaji buruh tak kunjung dinaikkan. Bahkan buruh pabrik di Bekasi dan Tangerang harus turun ke jalan menuntut kenaikan upah diatas UMR Rp1.527.000 per bulan. Gaji ini pun masih dibawah angka 2,5 juta rata-rata penghasilan WNI versi Bank Dunia. Kenapa pula masih ada pedagang roti yang menjual hingga larut malam. Itu pertanda dagangannya tidak laku karena masyarakat tidak mampu membeli. Jika ditarik terus, mereka tak membeli karena tidak punya uang. Uang tidak dimiliki karena tiada pekerjaan. Bukan karena malas mencari, tetapi karena sedikitnya lapangan kerja.

          Ironisnya majalah Forbes (2012) melansir 40 orang kaya di Indonesia mengalami peningkatan kekayaan dari tahun sebelumnya. Akselerasi peningkatannya hingga 71 milyar dolar atau setara dengan Rp.655 trilyun atau sekitar 12 persen PDB tahun lalu. Jika dibandingkan dengan penerimaan negara kekayaan 40 orang itu bisa mencapai 60 persen. Terjadinya kesenjangan sektoral ini mununjukkan bahwa petumbuhan ekonomi Indonesia versi World Bank tidaklah adil karena arus perputaran uangnya 80 persen ada di pasar finansial dan tak diterima sektor riil. Padahal sektor riil yang terdiri dari UMKM merupakan penyelamat ekonomi Indonesia dari terjangan krisis global lampau karena pangsa pasarnya spesifik.

          “Internasional microfinance kali ini adalah momentum bagi pemerintah untuk mengembangkan usaha mikro kecil dan menengah yang terbukti menyelematkan ekonomi Indonesia dari krisis ekonomi global. Maka KAMMI menuntut kepada pemerintah untuk berkomitmen dan konkrit menyuplai bantuan modal tanpa bunga ke sektor riil” teriak Aza dalam orasinya. Ke depan pemerintah harus lebih banyak menyuntik permodalan industri kreatif agar dapat mengembangkan usaha rakyat. Sehingga pertumbuhan ekonomi tak sekadar elitis dan mengawang-awang hanya dinikmati pengusaha kelas atas, tetapi dapat pula dicicipi kalangan akar rumput yang lebih mayoritas.

          Berpijak dari argumentasi di muka, KAMMI DIY menyatakan sikap:
1.    Menuntut kepada pemerintah untuk proteksi dan berdayakan UMKM dengan memberikan bantuan modal tanpa bunga kepada sektor riil.
2.    Membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya agar bertambahnya penduduk usia produktif di Indonesia tidak menjadi beban.
3.    Menuntut kepada pemerintah untuk menyediakan pupuk dan benih yang terjangkau bagi petani kecil agar mudah mengembangkan usahanya.

Dalam aksi ini aparat bertindak represif dengan menggiring massa aksi ke tempat parkir dirjen pajak, dan tak diperbolehkan aksi di depan hotel Sheraton. Puluhan aktivis KAMMI Yogya pun diperbolehkan pulang sebelum acara selesai. "Sikap represif aparat ini melanggar kebebasan menyampaikan pendapat. Kami mengkritik SBY karena kami cinta terhadap negeri ini dan agar pemerintah lebih baik lagi dalam mengelolanya" seru Taat selaku aktivis KAMMI UNY.


Humas KAMMI Sleman.





                                                                     




Tidak ada komentar:

Posting Komentar