Rabu, 24 Oktober 2012

Kunjungan ke KPID DIY


          Berkembangnya industri media di era post modern, memposisikan dirinya sebagai pilar demokrasi keempat. Media massa kini dapat bebas memberitakan atau menayangkan acara selama tidak melanggar kode etik jurnalistik. Selain itu, media sekarang dijadikan medium yang efektif untuk mempancarluaskan pelbagai propaganda. Terhangat yang membuat kaum muslimin murka, diedarkanya film “the Innocent of Muslim” di situs youtube dan jejaring sosial. Sontak saja, perkara ini memancing amarah umat Islam seluruh jagad yang tak terima kemuliaan agamanya dinodai.

          Para aktivis KAMMI dan lembaga dakwah di Indonesia melayangkan protes via Komisi Penyiaran Informasi Pusat. KAMMI Sleman pun melakukan kunjungan ke Komisi Informasi Daerah DIY Selasa, 2 Oktober 2012 untuk membicarakan hal ini. Di kantor KPID Jln. Brigjen Katamso. Rombongan yang terdiri dari Dedy Yanwar El Fani (Ketua KAMMI Daerah Sleman), Vivit N.A. Putra, Bara Brelian, Khairul, dan Arif Djatmiko ini disambut Rahmat Arifin (Ketua KPID DIY), Mohammad Zamroni (Bidang Kelembagaan), Ahmad Ghozali Nurul Islam (Bidang Pengawasan Isi Siaran), dan Sukiratnasari (Bidang Pengawasan Isi Siaran).

          Ketika mengomentasi marak aksi protes atas film penistaan Islam, menyatakan komputer KPI Pusat sampai error lantaran banyaknya protes via SMS yang masuk. “Bedanya kerja lembaga sensor film dengan KPI, kalau lembaga sensor film menyeleksi tayangan sebelum diputar di media sedangkan KPI mengontrol tayangan setelah ditayangkan media televisi” ujarnya.

          "KAMMI Sleman meminta agar KPI tetap independen dan memberikan punishment kepada televisi yang menayangkan acara asusila dan tak sesuai dengan norma ketimuran" pinta Dedy. “Sekarang di DPR RI sedang dibahas revisi UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Silahkan teman-teman KAMMI memberikan masukan agar tercipta undang-undang yang baik” tanggap Ahmad Ghozali.

          Sesuai norma yuridis di muka, KPI mempunyai tugas pokok regulasi, pengawasan, dan pengembangan. Bagi warga Yogyakarta yang akan menyampaikan pengaduannya tentang acara televisi bisa kirim SMS via 081227894444 dan KPI Pusat 081213070000. Mari kawal dan adukan acara televisi yang tidak sehat.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Selasa, 23 Oktober 2012

Aktivitas Keislaman vs Terorisme


Sabtu (22/9), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) UII menghelat diskusi publik mengenai “Aktivitas Keislaman Vs Terorisme”. Bertempat di ruang B.III.4 Kampus D3 Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), puluhan peserta yang berasal dari berbagai latar belakang hadir. Antara lain dari Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) UII, Unit Kegiatan Mahasiswa Keislaman (UKMK) Al Fath UII, KAMMI INSTIPER serta mahasiswa-mahasiswi angkatan 2012 UII dari berbagai fakultas.

Departemen Kajian Strategis (Kastrat) KAMMI UII sebagai penggagas acara ini mengakui digelarnya acara ini dalam rangka menyikapi isu terkini yang dilontarkan oleh media mengenai aktivitas keislaman yang berbasis masjid sekolah yang dipersepsikan berkaitan dengan teroris. Acara ini untuk meluruskan persepsi terhadap aktivitas keislaman di tingkat pelajar yang telah dipersepsikan buruk.

Dimulai pada pukul 08.30 wib, Diskusi Publik diawali dengan pemutaran video mengenai hal terkait sebagai prolog, dilanjutkan dengan Focus Grup Discussion (FGD) dengan durasi kurang lebih 10 menit. Setelahnya disampaikan materi dengan topik ‘Strategi Baru Gerakan Terorisme’ oleh pembicara pertama Aza El Munadiyan, mahasiswa UGM yang juga Peneliti Bidang Terorisme Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII. Aza berpendapat bahwa pola jihad fardiyah (mandiri) menjadi pilihan jaringan terorisme di Indonesia saat ini karena beberapa alasan. Pertama, makin mudahnya orang untuk ‘berjihad’, dahulu orang berjihad harus dengan terorganisir namun saat ini dengan beberapa orang dalam satu kelompok maka aksi jihad bisa dilakukan, misalnya bom Bali II.

Kedua, makin mudahnya mendapat ilmu askary (militer), siapa saja yang bersemangat ingin jihad bisa belajar ilmu-ilmu askary di internet. Ketiga, semakin banyaknya jaringan sel yang tertangkap ditambah sudah tidak adanya pimpinan gerakan Nordin M Top dan Dr Azhari membuat sel-sel yang di bawahnya gamang dan kalap sehingga gerakan yang dilakukan terkesan sporadis tanpa target dan waktu yang jelas. Keempat, munculnya indikasi permainan intelejen gelap yang bisa jadi berasal dari indonesia maupun pihak asing yang berkepentingan agar proyek terorisme di Indonesia tidak berhenti karena jika berhenti maka dana triliunan rupiah yang mengalir ke indonesia akan berhenti juga sehingga masalah terorisme ini harus berkelanjutan.

Pembicara kedua Yusuf Maulana, seorang pakar media dan jaringan memberikan penyampaian mengenai media di Indonesia. Disampaikan bahwa media yang ada saat ini isinya ‘permainan’ saja, jadi kita sikapi media dengan santai. ‘Anggap saja guyonan”, ujarnya. Media yang ada sekarang harus lebih baik. Beliau juga mengajak agar kita mengkritisi isu lewat literasi.

Usai penyampaian materi oleh kedua pembicara, masing-masing dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Acara ini ditutup dengan pembacaan puisi oleh seorang pengurus KAMMI UII dan berakhir pada pukul 12.00 wib.


Ahada Ramadhana
Aktivis KAMMI UII

Syawalan Bareng Edo Segara


Halaman Masjid Nurul Islam terlihat dipenuhi puluhan mahasiswa. Suara alunan Qur'an yang dibaca bersama-sama, menjadi pertanda dimulainya acara. Ya, tepat tanggal 13 september 2012 di kamis sore  itu, KAMMI Daerah Sleman menggelar Syawalan dan Silahturahim bersama para kadernya. Momentum syawalan dirasa pas bagi KAMMI, sesuai artinya yakni “peningkatan”, KAMMI Daerah Sleman mengajak kader untuk meningkatkan amal, baik individu, maupun keorganisasian.

         Diskusi santai menjadi inti dalam acara sore itu. Bertemakan “Dinamika Gerakan Mahasiswa di Era Post Modern”, para kader yang banyak berasal dari Kampus UII, UPN, Instiper, UNY, UGM, dan Amikom tampak begitu antusias mengikuti jalannya diskusi. Ditemani Bang Edo Segara yang merupakan kader KAMMI Yogyakarta, juga dimoderatori oleh Dedy Yanwar Elfani sekaligus sebagai Ketua KAMMI Daerah Sleman, menambah hangatnya suasana saat itu.
         Bang Edo Segara yang sudah malang melintang di KAMMI, mulai dari komsat UII, sampai KAMMI Pusat, banyak memberi masukan dan kritik kepada gerakan mahasiswa dan KAMMI secara khusus. Beliau juga memaparkan tentang kondisi, peluang, dan tantangan gerakan mahasiswa kedepannya.

         “Gerakan Mahasiswa tidak akan pernah lenyap, selama negeri ini, ataupun dunia belum mencapai taraf kesejahteraan” seru bang Edo kepada puluhan kader. Bang Edo menilai, gerakan mahasiswa gagap dalam mencari masalah untuk digarap dan diadvokasi. Lebih jauh lagi bahkan  gerakan mahasiswa dianggap juga terlalu disetir, dari media, ataupun kepentingan politik praktis.

         Syawalan KAMMI Daerah Sleman ditutup dengan salaman keliling, pengurus dengan semua kader. Bersemangatkan saling memaafkan antar sesama kader, KAMMI Daerah Sleman diharapkan lebih solid kedepannya dalam membangun gerakan. Hingga dapat bermanfaat bagi seluruh ummat dan bangsa.


Dedy Yanwar Elfani 
Ketua KAMMI Daerah Sleman

Peduli Etnis Muslim Rohingya


                Juli 2012, adalah tahun darah dan air mata warga Rohingya. Etnis muslim minoritas di Myanmar tersebut dibantai habis rezim Thuen Shein. Tragedi ini merupakan genosida terbesar kedua dalam tiga dekade terakhir. Sebelumnya 1994 di Bosnia Herzegovina, kaum muslimin dibunuh brutal oleh rezim Serbia. Kini kisah pilu ini terulang dan dunia pun hanya diam. PBB hanya mengutuk, negeri adidaya yang biasanya teriak lantang ketiga ada pelanggaran HAM di belahan dunia seakan tak mau tahu.

            Menurut data President of Burmese Rohingya Organization UK (BROUK) sebanyak 650 orang meregang nyawa, 1200 hilang, lebih dari 80.000 kehilangan tempat tinggal sejak kisruh meletus. Ada kemungkinan realitas di lapangan lebih banyak lagi yang menderita. Indonesia selaku ketua ASEAN tak bertindak tegas. Kendati ada traktat tak boleh mencampuri urusan dalam negeri negara lain, presiden SBY seharusnya dapat menjalin komunikasi bilateral dengan presiden Thuen Shein.

            Tak ada gunanya meminta tolong pada Aung San Suu Kyi. Sebab, anak bapak kemerdekaan Myanmar ini kini dilanda dilema. Di satu sisi jika peraih nobel perdamaian 16 Juni 2012 ini menaruh simpati kepada etnis Rohingya, maka dia akan kehilangan kepercayaan umat Budha. Dampaknya akan mengancam tingkat elektabilitas dan akseptabilitasnya pada pemilu presiden 2015 nanti. Sehingga peluangnya akan tipis untuk menang.

            Pada aspek lain jika pelanggaran HAM berat pada etnis Rohingya di depan matanya tak segera dituntaskan, pasti akan mendapat tekanan dari aktivis HAM internasional serta merusak citranya sebagai pejuang HAM yang melekat selama ini. Publik dapat melihat dengan terang ketika bulan ini safarinya ke London, Dublin, Oslo, dan Paris tak menyinggung satu kata pun tentang Rohingya. Khalayak pun dapat menyimpulkan Suu Kyi bermuka dua alias penganut standar ganda.

            Jika penggerak demokratisasi di Myanmar ini diam saja, seyogianya otoritas internasional dapat mencabut kembali nobel perdamaian yang diberikan kepadanya. Ini juga pertanda Myanmar telah gagal mengelola heterogenitas di negaranya. Negara asia tenggara perlu mengevaluasi  keanggotaan Myanmar di ASEAN, karena tidak mampu menjamin berjalannya hak asasi manusia untuk hidup dan bertempat tinggal di kawasannya. Bagaimana mungkin mereka
menganggap Rohingya bukan warga negaranya dan menuduh mereka imigran gelap dari Bangladesh jika etnis Rohingya sudah ada di sana sebelum merdeka 1948. Sungguh alasan yang mengada-ada.

            Oleh sebab itu, ada beberapa langkah mendesak yang perlu diambil pemerintah Indonesia. Pertama, mengirimkan bantuan medis, pangan, dan pakaian kepada warga Rohingya yang dideportasi dan sekarang terlantar di perbatansan Myanmar-Bangladesh. Berdasarkan konvensi organisasi  PBB, (UNHCR) menyatakan setiap organisasi kemanusiaan internasional yang akan memberikan bantuan harus diberikan akses dan tidak boleh diperlambat. Kalau pemerintahan Myanmar menghalang-halangi maka dapat dikatakan melanggar hukum internasional yang telah disepakati. Samarnya sikap pemerintah Indonesia, justru memunculkan inisiatif organisasi swasta seperti LSM ACT (Aksi Cepat Tanggap) yang Minggu lalu mengirimkan relawannya, Andhika Purbo Swasono ke kamp pengungsian di Bangladesh. Pemerintah dapat menjadi perantara beberapa organisasi kemanusiaan seperti PMI, BSMI, PKPU yang dapat diajak kerja sama untuk menjalin koneksi dengan badan kemanusiaan internasional dan pemerintah Bangladesh guna mempermudah pendistribusian bantuan.

            Kedua, pemerintah Indonesia dapat melakukan protes keras kepada pemerintah Myanmar agar mengakui setiap warga negaranya berlatar belakang apapun, dan menjamin ditegakkannya perlindungan HAM sesuai deklarasi universal HAM yang diumumkan PBB 10 Desember 1948. Jika tak digubris, Indonesia dapat mengajak anggota ASEAN lain untuk memboikot gelaran sea games ke 26 yang tahun depan akan berlangsung di sana.

            Ketiga, Indonesia dapat memanfaatkan pertemuan Organisasi Kerja sama Islam (Organization of the Islamic Cooperation) yang akan mengadakan pertemuan 14-15 Agustus di Saudi Arabia. Agar mampu menekan Myanmar untuk menghentikan tindakan biadabnya dan membawa perkara ini ke Amnesty Internasional. Setidaknya setiap negara mayoritas muslim dapat menerima pengungsi dari etnis Rohingya dan memberi suaka politik, sebagaimana mengurus warga negaranya sendiri. Indonesia sendiri sebelum membicarakan ke forum manca, haruslah memberi contoh awal kepada negeri jiran untuk peduli dan menerima warga Rohingya yang merapat di Aceh, Bogor, dan Tanjung Pinang.

Alhamdulillah aksi galang dana KAMMI Sleman memperoleh 4 juta lebih. Kami haturkan jazakallahu khairan katsira wa taqaballhu minna wa minkum. Hasil donasi disalurkan via PIARA (Pusat Informasi Rohingya Arakan) dan KAMMI Pusat.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Aksi Tolak RUU PT


Kala itu RUU PT versi 4 April 2012 ditarik kembali oleh pemerintah untuk penambahan beberapa pasal. Menurut Mendikbud ada tiga peran PT yang ditambahkan, yakni dalam menciptakan pemimpin masa depan bangsa, transformasi demokrasi, dan peran untuk menjaga konvergensi peradaban. Ternyata, setelah dikaji RUU PT versi 26 Juni 2012 tidak jauh berbeda dari RUU PT 4 April 2012. Hanya terjadi pemangkasan dan pengintegrasian pasal, dari 102 pasal menjadi 59 pasal. Tapi secara substansi tidak mengalami perubahan. Terutama beberapa pasal yang menurut kajian kawan KAMMI Sleman sebelumnya harus dienyahkan karena membuka kran liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Berikut catatan per pasalnya.

Pasal 1 ayat 5 “Humaniora adalah ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya,  antara lain teologi, filsafat, hukum, sejarah, filologi, bahasa, budaya,  linguistik,  kesusastraan, kesenian, dan psikologi”.
Catatan: Kata “dianggap” untuk ukuran RUU yang akan menjadi norma yuridis tidaklah tepat dan tampak sumir. Karena seakan tidak ada kepercayaan atau sekadar kesimpulan sementara atau terlihat ada pandangan belum terbukti bahwa humaniora adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi. Lebih baik kata “dianggap” dihapus.

Pasal 7 ayat 4 “Menteri bertanggung jawab atas kebijakan umum penyelenggaraan Pendidikan Tinggi”.
Catatan: Pada RUU PT sebelumnya tidak ada kata “kebijakan umum”. Selain itu menteri urusan agama juga dapat “menetapkan kebijakan umum” meliputi pengaturan, perencanaan, pengawasaan, pemantauan dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi. Intervensi Menteri pada RUU PT kali ini sangat besar. Sepanjang tidak politis tidak masalah. Tapi siapa yang menjamin?

Pasal 7 ayat 4c: “Tugas dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan pendidikan tinggi meliputi: penjaminan peningkatan mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan yang berkeadilan, dan akses pendidikan tinggi secara berkelanjutan”.
Catatan: Pada RUU PT sebelumnya ada kata penjaminan. Maksudnya karena tujuan negara Indonesia salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah selayaknya negara menjamin peningkatan mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan berkeadilan dan akses pendidikan tinggi berkelanjutan. Dengan dihapuskannya kata penjaminan, maka negara tidak menjamin hal di muka terwujud namun diserahkan pada setiap kampus masing-masing. Apakah ini dapat dikata negara melimpahkan tanggungjawabnya pada setiap PT dengan dalih otonomi?

Pasal 9 ayat 2 “Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya”.
Catatan: Pada draf sebelumnya tidak ada kata rumpun ilmu. Kebebasan profesor atau dosen yang diberikan pada RUU PT ini bukan mutlak melainkan setengah-setengah. Karena pada Pasal 9 ayat 4 disebutkan rumpun dan cabang ilmu diatur dalam peraturan menteri.

Pasal 23 ayat 1 (sebelumnya pasal 50) “Kerja sama internasional harus didasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan humaniora yang memberi manfaat bagi kehidupan manusia”. 
Catatan: Terjadi perubahan drastis pada pasal ini ayat 1. Termasuk dihapuskannya “berperan dalam pergaulan internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan”. Dapat pula diinterpretasikan hilang atau tidaknya nilai keindonesiaan dalam hubungan dengan negeri manca tak menjadi pertimbangan lagi. Jika demikian sungguh ironis, karena setiap perguruan tinggi tak mampu menjaga nilai khas keindonesian. Padahal PT merupakan ruang bertumbuh berpengetahuan dan ruang yang mendekatkan anak didiknya dengan realitas. Bukan malah menjauhkannya.

Pasal 31 ayat 2 (sebelumnya pasal 64) “PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum, bersifat nirlaba, dan wajib memperoleh izin Menteri antara lain yayasan, perkumpulan, persyarikatan, dan badan wakaf”.
Catatan: Kendati PTS hanya memperoleh bantuan dari pemerintah melalui hibah. Tetapi, penghapusan kata “bersifat nirlaba” membuka celah komersialisasi dengan dalih pemenuhan kebutuhan operasional kampus. Perlu aturan penjelas lain seperti pangkalan data dapat menjelaskan keterangan operasional kebutuhan kampus atau mengacu standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi (pasal 49 ayat 2) agar transparansi dan akuntabilitas kampus terjamin.

Pasal 35 ayat 1 “PTN yang didirikan oleh Pemerintah dapat berbentuk satuan kerja, satuan kerja dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum,  atau badan hukum”.
Catatan: Pasal ini membuka peluang bagi setiap PTN menjadi BHMN dengan pengelolaan kampus ala korporasi. Bukankah pasal ini tak jauh bedanya dengan UU BHP yang ditolak MK. Tetap saja RUU PT ini merupakan penjelmaan UU BHP. PTN berbadan hukum ini dapat mengelola kekayaan negara yang dipisahkan (pasal 36 ayat 3g).

Pasal 41 ayat 1 (sebelumnya pasal 79 ayat 1,2) “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik”.
Pasal 41 ayat 2 Pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:
 a.   beasiswa  kepada mahasiswa berprestasi;  
 b.   bantuan atau membebaskan biaya pendidikan; dan/atau
 c.    pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.

Catatan: Tidak berbeda satu huruf pun dengan draf sebelumnya. Kampus mengajarkan utang piutang kepada mahasiswanya. Seyogianya pasal 41 ayat 2c dihapus, jika mahasiswa tidak mampu bayar SPP, kampus harus tetap mengakomodasinya dengan memberikan beasiswa dan subsidi tanpa pinjaman karena itu tanggungjawab satuan pendidikan.

Pasal 51 ayat 1 (sebelumnya pasal 94) “Perguruan Tinggi asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 51 ayat 2 “Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya”.
Pasal 51 ayat 3 Penyelenggara pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
 a.   memperoleh izin Menteri;
 b.  bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia; dan
 c.   mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.

Catatannya: Pada draf sebelumnya ada kekata “bersifat nirlaba” bagi PT asing yang membuka cabangnya di Indonesia. Raibnya kata nirlaba memungkinkan bagi PT luar negeri untuk mematok biaya tinggi. Jika perkara ini terjadi praktik liberalisasi dan komersialisasi di dunia pendidikan semakin menjadi. Analisanya kenapa liberalisasi pendidikan sangat prospektif di Indonesia karena; pertama negeri ini secara demografi banyak penduduknya dengan usia produktif dan minat masuk PT semakin marak. Kedua, biaya investasinya termasuk murah. Ketiga, tenaga kerja administratif dan pendidik termasuk murah.

Berpijak argumentasi di muka, KAMMI Daerah Sleman menyatakan sikap:
(1). Pertama, tolak RUU PT versi pemerintah dan menghapus beberapa pasal yang bermuatan liberalisasi, komersialisasi, dan kapitalisasi pendidikan.
(2). Kedua, tuntut keterlibatan negara pada jenjang pendidikan tinggi untuk mewujudkan pendidikan murah dan berkeadilan menjangkau semua kalangan sesuai pasal 31 ayat 2 UUD 1945.


Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman

Temu Kader KAMMI UNY


Selasa, 29/05/2012 dihelatlah temu kader KAMMI UNY. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutinan yang dilasanakan oleh departemen kaderisasi KAMMI komisariat UNY. Tujuannya untuk merekatkan tali silaturahmi antar kader KAMMI. Bertempat di serambi Masjid Al-Mujahidin UNY, acara ini dimulai pukul 16.00 – 17.30. Animo peserta yang turut mengikuti agenda ini cukup banyak. Terbukti 30 peserta yang masing-masing berasal dari seluruh kader dari berbagai fakultas memadati serambi masjid Mujahidin UNY. Meskipun belum mampu menghadirkan seluruh kader KAMMI UNY yang ada, namun kegiatan ini mampu meninggalkan kesan dan pelajaran tersendiri bagi para peserta maupun panitia. 

Bertajuk “Kewajiban dan Keutamaan Mencari Ilmu Bagi Seorang Muslim” dibersamai Pidi Winata. Presiden mahasiswa UNY 2010 ini mengawai materi dengan perbedaan tradisi menuntut ilmu para aktivis mahasiswa di era 90-an dengan setelah era 2000-an, yang masing masing memiliki karakteristik dalam cara menuntut ilmunya. “Pada era sekarang nampaknya, tradisi menuntut ilmu yang dilakukan oleh para aktivis era 90-an telah jauh berbeda. Ada beberapa penurunan yang cukup ketara, terutama dalam hal kajian dan diskusi serta aksi di lapangan” ujar lelaki asal Lampung ini. Maka dari itu kader KAMMI perlu membenahi diri kembali akan tradisi belajar kita selama ini, mengingat tantangan pemikiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang kian hari kian berkembang pesat. Semestinya aktivis mahasiswa muslim mencontoh para sahabat dan ulama yang begitu memuliakan mencari ilmu ketimbang kesibukan lain.

Tantangan akan dunia global kian besar, tak lepas juga tentang bagaimana kesiapan kita akan menghadapi masa yang akan datang?. Bisa kita lihat pada masa sekarangpun sudah begitu banyak arus pemikiran yang sesat dan malah terkadang bertentangan dengan ajaran syariat Islam yang sebenarnya. Berbagai ideologi dan arus pemikiran barat yang perlahan lahan meracuni umat islam dan umat dunia. Sebagai seorang pembelajar sekaligus aktivis, mahasiswa seyogianya mampu menempatkan diri dalam berbagai masalah yang muncul di sekitar dan melakukan Islamisasi ilmu yang diperoleh.

Kaharudin Mahing
Aktivis KAMMI UNY

Training Jurnalistik KAMMI Sleman-KAMMI UII




 ·
Bertempat di Auditorium Fakultas Kedokteran jalan Kaliurang km. 14, 5 Sleman, para aktivis yang tergabung dalam wadah bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menghelat acara bertajuk peningkatan intelektual “Training Jurnalistik”. Terselenggaranya acara ini adalah atas kerjasama sesama departemen Hubungan Masyarakat (Humas), yaitu antara KAMMI komisariat Universitas Islam Indonesia (UII) dan KAMMI daerah Sleman. Acara yang dihelat untuk mahasiswa umum ini dihadiri oleh mahasiswa-mahasiswi dari UII dan UNY. Ini adalah salah satu bentuk kontribusi KAMMI dalam rangka memberikan kebermanfaatan (fasilitator amar makruf) pada sesama mahasiswa. Sekadar informasi, bahwa KAMMI UII sebelumnya juga mencoba menjadi fasilitator amal yaitu dengan mengadakan “Aksi Sosial untuk Sorong yang Terbakar”. Aksi ini berupa penggalangan bantuan untuk korban kebakaran di Rufei, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat yang mayoritas muslim. Diadakan selama tiga hari (22-24 Mei) di area boulevard UII, antusias dari para dermawan begitu besar, baik itu sumbangan berupa dana maupun pakaian. Dalam selang satu hari, KAMMI kemudian mengadakan Training Jurnalistik ini yang bertemakan “Membangun Tradisi Ilmiah Mahasiswa”.

Sebanyak 31 orang menghadiri Training Jurnalistik ini, yaitu 23 orang akhwat dan 8 orang ikhwan. Selain daripada itu, diadakannya training ini adalah sebagai bekal bagi kader KAMMI sendiri untuk menjadi aktivis yang multitalenta. Pelaksanaan acara ini dibagi menjadi tiga sesi. Tampil sebagai pembicara sesi pertama adalah Yusuf Maulana. Pria asal Cirebon ini membawakan materi “Manajemen Media Masa, Isu dan Jaringan”. Media sangat penting peranannya sebagai sarana membangun citra organisasi. Menampakkan kebaikan organisasi di media sangatlah besar dampaknya, namun jangan sampai kita memneli berita—walaupun mungkin kita mampu untuk itu—sebab hal ini sungguh tidak mencerdaskan. Media memang mudah sekali membentuk opini. Wajah seseorang bisa terlihat baik karena media, pun tampilan buruknya seseorang dapat menjadi konsumsi public oleh sebab media.

Kader KAMMI tidak afdhol kalau belajar saja, demo saja, mengejar IPK tinggi saja, ngaji saja, lulus kuliah pun, sebelum punya karya tulis. Maka menulislah, tuangkan gagasan dalam tulisan, karena tulisan adalah bukti peradaban. Terkait pertanyaan peserta mengenai subjektivitas kita terhadap media, bahwasanya kita mungkin—atau seringkali—berpikiran bahwa ketika apa yang disampaikan media tidak sesuai dengan apa yang sedang kita pikirkan maka anggapan yang muncul adalah media itu menyebar kebohongan. Maka pria kelahiran … ini memberi tips agar tidak melihat satu media saja ketika mengamati suatu isu. Kita perlu melihat satu isu dari berbagai sudut pandang (media), baik televisi, media cetak ataupun internet.

Sesi kedua mengenai “Kehumasan” dibawakan oleh Edo Segara. Alumnus FE UII ini merekomendasikan agar KAMMI fokus di masyarakat kampus (mahasiswa). Penekanannya ialah pada ‘kontribusi’ dan ‘kampus’. Sebab tanpa kontribusi, kita tak akan dikenal dan dianggap apa-apa. Sedangkan kampus ialah lingkup yang dianggap pas bagi kita sebagai mahasiswa, kita belum perlu menjamah lingkup yang lebih luas (mayarakat umum) karena kita lebih dekat dengan realitas di kampus. Publikasi menurut Edo adalah hal vital. “Jangan remehkan publikasi biasa, semacam blog”. Ada beberapa hal yang dijelaskan oleh mantan Humas KAMMI Pusat ini terkait kehumasan. Pertama, organisasi kita mau dicitrakan seperti apa. Kedua, kita harus melakukan kerja-kerja di masyarakat (kampus) secara konsisten. Ketiga, optimalkan publikasi. Keempat, ikhlas karena Allah.

Sesi ketiga dibawakan oleh aktivis KAMMI Sleman Vivit Nur Arista Putra. Penulis lepas di media massa ini memberikan stimulant pada para peserta mengenai “Motivasi Menulis”. Beberapa link media yang menerima tulisan (opini) mahasiswa ia berikan seperti harian Republika, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jogja. Mahasiswa FIP UNY ini memotivasi peserta dengan pemaparannya bahwasanya beberapa media masa belakangan ini seringkali kekurangan tulisan sehingga ini adalah kesempatan baik bagi para peserta untuk mengirimkan tulisannya ke media. Selain itu, beberapa media juga lebih mengutamakan penulis mula untuk diterbitkan tulisannya, sehingga ini adalah peluang besar bagi mahasiswa yang memang ingin menyuarakan opininya di media.Training Jurnalistik ini ditutup dengan do’a oleh Ketua KAMMI UII Mahrus.

Ahada Ramadhana

Aktivis KAMMI UII



Aksi Sosial untuk Sorong

Add caption



            Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Komisariat UII kembali mencoba memberikan kontribusi positif kepada masyarakat kampus. Adalah Aksi Sosial berupa penggalangan bantuan bagi korban kebakaran di Kampung Buton, Boswessen, Distrik Rufei, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat yang mayoritas muslim. Kebakaran terjadi pada tanggal Senin pagi (07/5). Ratusan warga kehilangan tempat tinggal. Informasi yang kami peroleh dari aktivis KAMMI Kota Sorong bahwa korbam kebakaran sebanyak 1.951 jiwa, terdiri dari 400 Kepala Keluarga.Tak ada korban jiwa dalam kejadian ini. Namun warga mengalami kerugian ratusan juta rupiah dan kehilangan tempat tinggal.

Aksi sosial ini adalah bentuk empati dari KAMMI UII yang diagendakan oleh Departemen Sosial Masyarakat (Sosmas) KAMMI UII. Melihat kebakaran yang terjadi di Kota Sorong ini menyebabkan banyak warga yang kehilangan tempat tinggal, KAMMI tergerak untuk mengadakan aksi sosial. Diadakan selama tiga hari 22-24 Mei 2012, KAMMI membuka pos penggalangan bantuan. Bermodalkan spanduk, bendera KAMMI, meja dan beralas tikar, posko sederhana didirikan di depan gedung Kahar Mudzakir area boulevard UII. Antusias dari para dermawan begitu besar, sejauh ini sumbangan dari masyarakat kampus ialah berupa dana dan pakaian.

            Selama 3 hari posko buka pada pukul sembilan pagi hingga pukul lima sore. Sempat menemui berbagai kendala teknis, namun aksi sosial ini tetap berjalan lancar. Seperti panitia jaga yang telah dijadwalkan seringkali mendadak berhalangan, ini menyebabkan posko dijaga beberapa orang saja. Menjelang sore hari barulah para panitia berdatangan ke posko. Mereka yang berhalangan biasanya disebabkan oleh agenda akademik seperti tugas atau kuliah tambahan. Kendala lain ialah adanya posko bakti sosial yang didirikan dalam waktu dan tempat yang bersamaaan, yaitu posko bakti sosial rangkaian dari agenda Milad UII.  Kendala lain yang dihadapi ialah ketika siang menjelang sore, panas matahari mengenai posko sehingga setiap sore hari harus memindahkan posko ke tempat yang lebih teduh. 

            Sejauh usaha KAMMI menggalang bantuan, terkumpul uang sebesar Rp3.158.400. Untuk sumbangan berupa pakaian rencananya akan dikonversikan menjadi uang agar penyerahan bantuan ini menjadi lebih mudah dan lebih manfaat. Sebab selain mempertimbangkan ongkos pengiriman, juga sejauh ini informasi yang didapat bahwa kecukupan pakaian sudah terlampau berlebih sehingga dirasa tidak efektif untuk memberi bantuan dalam bentuk pakaian.
           
Humas KAMMI UII