Kala itu RUU PT versi 4 April 2012 ditarik kembali oleh
pemerintah untuk penambahan beberapa pasal. Menurut Mendikbud ada tiga peran PT
yang ditambahkan, yakni dalam menciptakan pemimpin masa depan bangsa,
transformasi demokrasi, dan peran untuk menjaga konvergensi peradaban.
Ternyata, setelah dikaji RUU PT versi 26 Juni 2012 tidak jauh berbeda dari RUU
PT 4 April 2012. Hanya terjadi pemangkasan dan pengintegrasian pasal, dari 102
pasal menjadi 59 pasal. Tapi secara substansi tidak mengalami perubahan.
Terutama beberapa pasal yang menurut kajian kawan KAMMI Sleman sebelumnya harus
dienyahkan karena membuka kran liberalisasi dan komersialisasi pendidikan.
Berikut catatan per pasalnya.
Pasal 1 ayat 5 “Humaniora
adalah ilmu-ilmu
pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti
membuat manusia lebih berbudaya, antara lain teologi, filsafat, hukum, sejarah, filologi, bahasa, budaya, linguistik, kesusastraan, kesenian, dan psikologi”.
Catatan: Kata “dianggap” untuk ukuran RUU yang akan menjadi norma
yuridis tidaklah tepat dan tampak sumir. Karena seakan tidak ada kepercayaan
atau sekadar kesimpulan sementara atau terlihat ada pandangan belum terbukti
bahwa humaniora adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan membuat manusia lebih
manusiawi. Lebih baik kata “dianggap” dihapus.
Pasal 7 ayat 4 “Menteri bertanggung jawab atas kebijakan umum
penyelenggaraan Pendidikan Tinggi”.
Catatan: Pada RUU PT sebelumnya
tidak ada kata “kebijakan umum”. Selain itu menteri urusan agama juga dapat
“menetapkan kebijakan umum” meliputi pengaturan, perencanaan, pengawasaan,
pemantauan dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi. Intervensi Menteri pada
RUU PT kali ini sangat besar. Sepanjang tidak politis tidak masalah. Tapi siapa
yang menjamin?
Pasal 7 ayat 4c: “Tugas
dan wewenang Menteri atas penyelenggaraan pendidikan tinggi meliputi: penjaminan peningkatan mutu, relevansi, keterjangkauan,
pemerataan yang berkeadilan, dan akses pendidikan tinggi secara berkelanjutan”.
Catatan: Pada RUU PT sebelumnya
ada kata penjaminan. Maksudnya karena tujuan negara Indonesia salah satunya
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sudah selayaknya negara menjamin peningkatan
mutu, relevansi, keterjangkauan, pemerataan berkeadilan dan akses pendidikan
tinggi berkelanjutan. Dengan dihapuskannya kata penjaminan, maka negara tidak
menjamin hal di muka terwujud namun diserahkan pada setiap kampus
masing-masing. Apakah ini dapat dikata negara melimpahkan tanggungjawabnya pada
setiap PT dengan dalih otonomi?
Pasal 9 ayat 2 “Kebebasan mimbar akademik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan wewenang profesor dan/atau dosen yang memiliki
otoritas dan wibawa ilmiah untuk menyatakan secara terbuka dan bertanggung
jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya”.
Catatan: Pada draf sebelumnya
tidak ada kata rumpun ilmu. Kebebasan profesor atau dosen yang diberikan pada
RUU PT ini bukan mutlak melainkan setengah-setengah. Karena pada Pasal 9 ayat 4
disebutkan rumpun dan cabang ilmu diatur dalam peraturan menteri.
Pasal 23 ayat 1 (sebelumnya pasal 50) “Kerja sama internasional harus didasarkan pada
prinsip kesetaraan dan saling menghormati dengan mempromosikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan humaniora yang memberi manfaat bagi kehidupan
manusia”.
Catatan: Terjadi perubahan
drastis pada pasal ini ayat 1. Termasuk dihapuskannya “berperan dalam pergaulan
internasional tanpa kehilangan nilai-nilai keindonesiaan”. Dapat pula
diinterpretasikan hilang atau tidaknya nilai keindonesiaan dalam hubungan
dengan negeri manca tak menjadi pertimbangan lagi. Jika demikian sungguh
ironis, karena setiap perguruan tinggi tak mampu menjaga nilai khas
keindonesian. Padahal PT merupakan ruang bertumbuh berpengetahuan dan ruang
yang mendekatkan anak didiknya dengan realitas. Bukan malah menjauhkannya.
Pasal 31 ayat 2 (sebelumnya pasal
64) “PTS
didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum, bersifat nirlaba, dan wajib memperoleh izin
Menteri antara
lain yayasan, perkumpulan, persyarikatan, dan badan wakaf”.
Catatan: Kendati PTS hanya
memperoleh bantuan dari pemerintah melalui hibah. Tetapi, penghapusan kata
“bersifat nirlaba” membuka celah komersialisasi dengan dalih pemenuhan
kebutuhan operasional kampus. Perlu aturan penjelas lain seperti pangkalan data
dapat menjelaskan keterangan operasional kebutuhan kampus atau mengacu standar
satuan biaya operasional pendidikan tinggi (pasal 49 ayat 2) agar transparansi
dan akuntabilitas kampus terjamin.
Pasal 35 ayat 1 “PTN yang didirikan oleh Pemerintah dapat berbentuk
satuan kerja, satuan kerja dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum, atau badan hukum”.
Catatan: Pasal ini membuka
peluang bagi setiap PTN menjadi BHMN dengan pengelolaan kampus ala korporasi.
Bukankah pasal ini tak jauh bedanya dengan UU BHP yang ditolak MK. Tetap saja
RUU PT ini merupakan penjelmaan UU BHP. PTN berbadan hukum ini dapat mengelola
kekayaan negara yang dipisahkan (pasal 36 ayat 3g).
Pasal 41 ayat 1 (sebelumnya pasal
79 ayat 1,2) “Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa
yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai
dengan peraturan akademik”.
Pasal 41 ayat 2 Pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:
a. beasiswa kepada mahasiswa berprestasi;
b. bantuan atau membebaskan biaya pendidikan; dan/atau
c. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus
dan/atau memperoleh pekerjaan.
Catatan: Tidak berbeda satu huruf
pun dengan draf sebelumnya. Kampus mengajarkan utang piutang kepada
mahasiswanya. Seyogianya pasal 41 ayat 2c dihapus, jika mahasiswa tidak mampu
bayar SPP, kampus harus tetap mengakomodasinya dengan memberikan beasiswa dan
subsidi tanpa pinjaman karena itu tanggungjawab satuan pendidikan.
Pasal 51 ayat 1 (sebelumnya pasal
94) “Perguruan
Tinggi asing dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Pasal 51 ayat 2 “Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sudah terakreditasi dan/atau diakui di negaranya”.
Pasal 51 ayat 3 Penyelenggara pendidikan tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. memperoleh izin Menteri;
b. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia; dan
c. mengutamakan dosen dan tenaga kependidikan
warga negara Indonesia.
Catatannya: Pada draf sebelumnya
ada kekata “bersifat nirlaba” bagi PT asing yang membuka cabangnya di
Indonesia. Raibnya kata nirlaba memungkinkan bagi PT luar negeri untuk mematok
biaya tinggi. Jika perkara ini terjadi praktik liberalisasi dan komersialisasi
di dunia pendidikan semakin menjadi. Analisanya kenapa liberalisasi pendidikan
sangat prospektif di Indonesia karena; pertama negeri ini secara demografi
banyak penduduknya dengan usia produktif dan minat masuk PT semakin marak.
Kedua, biaya investasinya termasuk murah. Ketiga, tenaga kerja administratif
dan pendidik termasuk murah.
Berpijak argumentasi di muka,
KAMMI Daerah Sleman menyatakan sikap:
(1). Pertama, tolak RUU PT versi
pemerintah dan menghapus beberapa pasal yang bermuatan liberalisasi,
komersialisasi, dan kapitalisasi pendidikan.
(2). Kedua, tuntut keterlibatan
negara pada jenjang pendidikan tinggi untuk mewujudkan pendidikan murah dan berkeadilan
menjangkau semua kalangan sesuai pasal 31 ayat 2 UUD 1945.
Vivit Nur Arista Putra
Aktivis KAMMI Daerah Sleman